BISNIS.RAGAMUTAMA.COM – Industri properti China belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Setelah mengalami penurunan selama empat tahun berturut-turut, pasar perumahan masih terus melemah. Bahkan salah satu raksasa properti, China Vanke, yang didukung negara, melaporkan kerugian tahunan terbesar sepanjang sejarahnya.
Pada tahun fiskal terakhir, Vanke mencatat kerugian hingga 49,5 miliar yuan (sekitar 6,8 miliar dolar AS)—kerugian pertama sejak perusahaan tersebut melantai di bursa saham pada tahun 1991.
Meski sempat ada sedikit stabilisasi, stok rumah baru turun 11% pada Maret. Namun pasar belum benar-benar pulih. Permintaan domestik masih lemah, diperparah oleh kondisi pasar kerja yang rapuh dan kekhawatiran publik terhadap kemampuan pengembang menyelesaikan proyek tepat waktu.
Zerlina Zeng, Direktur Strategis Asia di Creditsights Singapore, menilai bahwa tanda-tanda perbaikan di kota-kota besar belum tentu akan merata ke seluruh wilayah. “Masih banyak ketidakpastian apakah momentum ini bisa bertahan secara nasional,” ujarnya.
Data dari China Real Estate Information Corp juga mengungkap bahwa penjualan kontrak Vanke turun 41% pada kuartal pertama 2025, setelah sebelumnya turun 35% pada 2024. Ini menegaskan bahwa tekanan pasar belum mereda.
Dalam menghadapi tekanan keuangan yang semakin besar, Vanke kini menggantungkan harapan pada pemulihan pasar dan langkah-langkah internal, seperti penjualan aset dan pendanaan dari pemegang saham negara.
“Reformasi struktural membutuhkan waktu untuk menghasilkan dampak nyata,” ujar Zeng. Ia menyebut, likuidasi aset dan penerbitan dana investasi properti menjadi strategi utama Vanke saat ini.
Namun, Bloomberg Intelligence memperingatkan bahwa kesulitan bisa berlangsung hingga 2025, karena kepercayaan konsumen yang menurun dan keterbatasan pasokan proyek baru.
Di balik layar, kondisi keuangan Vanke terlihat genting. Pada akhir 2024, rasio kas terhadap utang jangka pendek turun menjadi hanya 52%, dan tren ini diprediksi memburuk. Morgan Stanley menyebut tekanan likuiditas Vanke sangat tinggi, meski ada dukungan dari lembaga keuangan.
Dengan tingginya pembakaran dana dan banyaknya utang jatuh tempo, risiko Vanke gagal memenuhi kewajiban utangnya semakin besar. Meski begitu, intervensi pemerintah kota Shenzhen—kampung halaman Vanke—memberi sedikit harapan bahwa perusahaan tidak akan dibiarkan runtuh begitu saja.
Dalam pertemuan dengan investor pada 31 Januari, manajemen Vanke berjanji akan memprioritaskan pembayaran utang publik dan menjamin penyelesaian proyek-proyek perumahan, sembari mempertahankan pinjaman bank dan mencari sumber pendanaan baru.
Kondisi pasar secara keseluruhan pun tidak kalah suram. Penjualan rumah baru oleh 100 pengembang teratas turun signifikan pada Maret, hanya mencatat 318 miliar yuan. Ini mencerminkan stagnasi setelah kenaikan kecil 1,2% pada Februari.
Sementara itu, harga rumah bekas juga turun lebih tajam, yakni 0,59% pada Maret dibanding 0,42% di bulan sebelumnya, menurut China Index Holdings.
Bloomberg Intelligence menyebut, dua pertiga dari total penjualan rumah baru berasal dari kota-kota kelas dua dan tiga, yang saat ini justru paling terdampak oleh tekanan pasar.
Meskipun prospeknya suram, sebagian analis optimistis bahwa harga properti mungkin stabil pada 2026, terutama di kota-kota kelas satu. John Lam dari UBS Group AG memprediksi bahwa pemulihan akan dimulai dari kota besar sebelum menyebar ke daerah lain.
Namun, untuk saat ini, “cahaya di ujung terowongan” bagi pasar real estat China masih tampak jauh. Dibutuhkan bukan hanya stimulus dari pemerintah, tapi juga pemulihan kepercayaan masyarakat agar industri ini bisa kembali pulih secara menyeluruh.