BISNIS.RAGAMUTAMA.COM – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami tekanan signifikan pada sesi pertama perdagangan Jumat, 21 Maret 2025. Penurunan mencapai 2,14%, menandai fase koreksi lanjutan dari pola yang sudah terlihat sejak akhir sesi perdagangan sehari sebelumnya.
Menurut Hendry Wijaya, Financial Educator Manager di Sucor Sekuritas, sinyal pelemahan ini sebetulnya sudah mulai muncul sejak Kamis. Pola candle inverted hammer yang terbentuk menjadi pertanda awal tekanan jual yang cukup masif menjelang penutupan.
“Sebenarnya ini sudah terlihat dari candle inverted hammer kemarin yang menunjukan tekanan jual pada siang menuju penutupan sore cukup besar,” jelas Hendry secara daring kepada B Universe.
Ia menambahkan, meskipun ada kemungkinan teknikal rebound, ruang kenaikan IHSG diperkirakan terbatas.
“Saat fase downtrend seperti saat ini, jika IHSG bisa naik maka kemungkinan naiknya terbatas hanya sampai 6.558,” imbuhnya.
Sorotan utama jatuh pada saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), yang pada sesi I perdagangan hari ini terkoreksi tajam hingga 3,58% ke level Rp 8.075. Hendry mengungkapkan bahwa tekanan jual pada sektor perbankan, khususnya BBCA, sangat mendominasi pasar.
“Sampai hari ini tekanan jual di saham bankings masih luar biasa besar. Bahkan top seller-nya adalah BBCA. Potensi harga BBCA turun masih terbuka lebar,” kata Hendry.
Sebagai saham dengan kapitalisasi pasar terbesar di bursa, penurunan BBCA berdampak signifikan terhadap pergerakan IHSG. Koreksi tajam pada BBCA secara otomatis ikut menyeret indeks acuan ke zona merah.
“BBCA punya bobot market cap yang paling besar dan paling berpengaruh pada posisi IHSG. Kalau sekarang sudah minus, maka ada potensi IHSG ikut turun,” jelasnya.
Di tengah situasi pasar yang volatil, Hendry mendorong pemerintah untuk memberikan sinyal yang lebih jelas terkait arah kebijakan investasi. Menurutnya, transparansi dan kepastian kebijakan akan membantu meredakan kekhawatiran pelaku pasar.
“Pemerintah perlu menjelaskan lebih detail kebijakan apa yang pro investasi dan bagaimana menjaga kestabilan politik untuk menopang kepercayaan pasar,” pungkas Hendry.
Ia menekankan bahwa komunikasi yang kuat dari otoritas ekonomi dan regulator sangat dibutuhkan untuk menopang psikologis pasar dan menghindari aksi jual yang lebih dalam.